Kisah Seorang Ayah by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Kisah Seorang Ayah

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara pasangan-pasangan hidupmu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya harta-harta kamu, dan anak-anak kamu adalah ujian (bagimu); di sisi Allah ada ganjaran (pahala) yang besar” (QS At Taghaabun [64]:14-15)

Seorang ayah itu merintih. Dimasa tuanya, ia merasa tidak bahagia. Anak laki-lakinya yang hanya ia miliki seorang, telah menjadi seseorang yang sangat berbeda dari apa yang ia inginkan dan rencanakan. Dalam hal keduniaan, ia telah banyak ‘memberi’ kepada anaknya itu. Ia telah menyekolahkannya sampai ke negeri seberang benua lain dan mendapat gelar S-2 dari sana. Demikian juga ketika anaknya itu telah mendapat ‘gelar’ nya, ia telah menyiapkan sebuah perusahaan trading tempat anaknya itu akan menjadi pimpinan perusahaan. Latar belakang sang ayah yang pernah menjadi pimpinan puncak sebuah perusahaan negara menjadikan ia sangat dihormati oleh siapapun. Dan ketika ia pensiun beberapa tahun yang lalu, banyak ‘mantan’ mitra kerjanya yang merapat kepadanya untuk mengajaknya membangun usaha bersama. Ia telah memilih salah satu diantaranya demi kelangsungan hidup sang anak lelaki itu. Merekapun bersepakat untuk mendirikan sebuah perusahaan trading commoditas. Selama sang anak belum siap, pimpinan akan dipegang oleh mitranya itu. Sang ayah dan mitranya menyiapkan segalanya dengan sangat rinci dan teliti, termasuk mengirim anaknya untuk training di beberapa negara lain, tempat dimana mitra kerjanya ini memiliki affiliasi usaha.

Tapi semua rencana-rencana itu buyar. Walaupun sang anak patuh ketika sang ayah memintanya untuk bergabung ke usaha ini, sang anak memilih untuk mengundurkan diri beberapa tahun kemudian. Sang anak beralasan, usaha itu bertentangan dengan hati nuraninya dan tidak sesuai syariah. Sang anak lebih memilih untuk menjadi dosen sebuah perguruan tinggi dan memulai usaha kecilnya.

Dalam hati kecil sang ayah, ia ingin anaknya menjadi orang yang ‘berpengaruh’ dan ‘cukup’ seperti dirinya. Ia sadar hidup di dunia ini harus dibangun dengan kerja keras dan keuletan. Sebagai orang yang mempunyai pengalaman dalam menjalani hidup, ia berusaha untuk mengajari sang anak berdasarkan pengalaman hidupnya yang keras dimasa lalu. Dari seorang pegawai rendahan menjadi seorang pimpinan. Dari seorang yang tidak dikenal menjadi seorang yang sangat dihormati.

Dalam hal keyakinan agama, sang ayah telah menerapkan sebuah kehidupan yang religius di keluarganya. Sang Ayah memberi kesempatan kepada anak lelakinya itu untuk belajar agama dari ulama-ulama yang kompeten di kotanya. Anaknya tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia dan memegang teguh keyakinannya dimanapun ia berada. Tapi ini belum cukup bagi sang ayah, ia ingin lebih dari itu. Ia ingin anaknya meraih sukses di dunia.

Ketika hal ini dikisahkan oleh sang anak kepada hamba itu, ia melihat kisah di atas adalah sebuah ‘kisah cinta’ dari seorang ayah yang begitu mendalam kepada anak lelaki semata wayangnya. Pengalaman sang ayah yang menjalani sebuah kehidupan dari bawah hingga mencapai puncak dalam hal materi dan kekuasaan menjadikan kehidupan sang anak bagaikan sebuah ‘mainan remote control’. Sang ayah yang memegang remote control itu dan si anak hanya patuh mengikuti perintah. Sang ayah, yang atas nama cinta, mengarahkan anaknya untuk menjadi seperti dirinya. Membebaninya dengan beban yang berat dan bisa jadi amat sulit terjangkau bahkan bertentangan dengan bakat dan kecenderungan sang anak. Begitu banyak orangtua modern saat ini, ingin selalu meng-‘intervensi’ seluruh kehidupan anak-anak mereka. Mereka memaksakan pilihannya dalam hal sekolah, jodoh, pekerjaan, bahkan memaksanya menceraikan istri yang amat dikasihi sang anak.

Hamba itu teringat kembali akan sebuah hadish Rasulullah Saw, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya. Siapa yang mengembirakan hati anaknya, maka ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang bergurau (bercanda) untuk menyenangkan hati anaknya, maka ia bagaikan menangis karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla” (HR Abu Daud dan At Tirmidzi)

Hadish Rasulullah diatas menjelaskan, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya.” Adalah sebuah ungkapan yang amat sederhana yang memiliki arti: keterikatan bathin yang amat dalam agar anak dan orangtua dapat saling memahami, menjadi sahabat dan teman saling bertukar pikiran. Berapa banyak anak-anak kita yang tidak lagi merasakan dapat bermain bersama orangtuanya dan saling memahami karena kesibukan orang tua dalam hal mencari keduniaan?

Seorang ulama berkata, “Cinta kepada anak adalah sebuah hubungan yang sangat mesra antara dua ‘aku’. Kalaulah orang tua memaksakan anaknya menjadi ‘kelanjutannya’ atau ‘sama dengannya’, maka pudarlah cinta. Karena dengan pemaksaan ini, ‘aku’ menjadi satu dan bukan ‘dua’ lagi. Dan hal ini berarti telah membunuh jiwa, perasaan dan kepribadian sang anak.”

Sang ayah dalam kisah diatas, dihari tuanya telah merasakan sebuah kegetiran hidup dan merasa gagal dalam hidup. Seharusnya tidaklah demikian. Ia telah mengajarkan kepada anaknya sebuah kehidupan yang ‘religus’ sehingga anaknya memiliki akhlak mulia dan teguh dalam ketaqwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Walaupun saat ini sang anak, sesuai dengan penuturannya, menjadi seorang manusia kecil, tapi ia banyak memberi kebaikan kepada manusia lain dalam usaha kecilnya itu. Ia terlibat dalam kegiatan dakwah yang mengajak ‘amar makruf nahi munkar bagi komunitasnya dan amat sangat memperhatikan serta mendoakan sang ayah disetiap sujudnya. Bukankah doa seorang anak yang shaleh itu yang akan menyelamatkannya kelak dari segala siksa kubur dan kegetiran hari pembalasan?

Ingatlah sabda Rasulullah saw, “Jika seseorang telah wafat, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga hal: sedeqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR Muslim).

Penutup dari kisah ini ada pada sebuah peristiwa di zaman Rasulullah Saw. Dalam suatu majelis Rasulullah mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi Menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” (HR Abu Daud)

Wallahu ‘Alam Bissawab
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

(M. Fachri)

Warisan Yang Sangat Berharga by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Warisan Yang Sangat Berharga

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An Nisaa’ [4]:9)

Sebahagian besar dari kita mendapat amanah dari Allah berupa anak-anak yang harus kita didik dan cukupi segala kebutuhan mereka. Dan tidak ada yang lebih kita inginkan selain mewariskan kepada mereka bekal yang cukup untuk kelak menjalani kehidupan mereka dengan baik. Bekal itu adalah pendidikan dan materi yang cukup.

Kita sangat peduli dengan pendidikan anak-anak kita. Kita memasukkan mereka ke sekolah-sekolah yang menurut kita, sangat baik kualitasnya. Kita juga memberi kesempatan kepada mereka untuk menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya demi untuk prestasi mereka dan prestise kita sendiri sebagai orang tua.

Demikian juga dengan harta. Tidak ada seorang orangtua pun di dunia ini menginginkan anaknya hidup susah kelak ketika dewasa. Lebih-lebih ketika kita pernah merasakan kesusahan itu. Kita sebagai orangtua berusaha untuk mengumpulkan harta dengan segala daya upaya agar dapat kita wariskan kepada anak-anak kita. Ketika kita dapat mewariskan harta yang cukup untuk kebutuhan pendidikan mereka, kita berusaha untuk mewariskan rumah untuk mereka. Dan jika inipun sudah terpenuhi, kita masih ingin lebih lagi yaitu mewariskan usaha yang kita miliki untuk mereka. Tidak pernah habis-habisnya keinginan kita agar mereka tidak merasakan kesusahan di masa mendatang.

Bagaimana dengan pendidikan agama anak-anak kita? Kita mungkin berpikir, bahwa dengan memasukkannya ke sebuah sekolah Islam, hal itu sudah mencukupi. Kita berpikir bahwa disana mereka telah mendapat pengajaran tentang sholat, puasa, berdoa dan lain-lain. Tapi hal itu bisa jadi tidak sesuai dengan harapan kita. Ketika anak-anak kita telah beranjak dewasa, sering kita dapati didalam mengerjakan sholat, tidak terlihat ada kekhusukan pada diri anak-anak kita. Tidak terlihat gerakan dengan kesungguhan (tuma’ninah) yang melambangkan ketundukan seorang hamba kepada Rabb Yang Maha Agung. Kadangpun mereka berbohong ketika kita bertanya kepada mereka apakah mereka telah menunaikan sholat atau belum. Kenapa hal ini terjadi?

Dalam ayat diatas, Allah mengingatkan hamba-Nya bahwa dalam mendidik anak, hendaklah kita selalu merasa cemas dengan keadaan yang akan dihadapi pleh anak-anak kita kelak. Jangan pernah merasa kita telah cukup mewarisi mereka dengan ilmu ataupun harta. Kecemasan yang terkendali akan selalu membawa kita peduli dan tanggap terhadap apa yang telah kita berikan dan apa yang akan kita berikan. Keyakinan bahwa semuanya telah cukup untuk diwariskan justru akan membawa kepada sebuah ketidakpedulian akan keadaan anak-anak kita yang bisa jadi kelak akan membawa kesengsaraan bagi sang anak sendiri.

Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan kepada kita di akhir ayat diatas bahwa dua hal terpenting dalam mendidik anak-anak kita adalah bekal “Taqwa” dan “Kejujuran”. Dan kita sebagai orangtua mutlak memiliki dua hal ini untuk kita wariskan kepada mereka. Bukankah dengan ketaqwaan pertolongan Allah itu akan selalu ada? Dan Allah akan memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tidak ia sangka-sangka (QS Ath thalaaq [65]:3) dan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS Ath Thalaaq [65]:4)? Bukankah ini sebuah bekal yang cukup bagi anak-anak kita kelak? Demikian juga “kejujuran” yang menjadi fondasi hubungan antar manusia. Tanpa kejujuran, seorang hamba pasti akan mendapat kesulitan dalam membina hubungannya dengan manusia lain.

“Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besarlah kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (berbohong).” (QS Ash Shaff [61]:2-3)

Hendaklah kita memperhatikan sebuah riwayat dari seorang sahabat Rasulullah saw, Ibnu Abbas ra. ketika beliau masih kecil (lebih kurang berumur 10 tahun). Kisahnya amat dapat menjadi teladan bagi kita dalam mendidik dan mewariskan sesuatu kepada anak-anak kita.

Ketika aku (Ibnu Abbas ra.) masih kecil, aku pernah dipanggil oleh Rasulullah saw dan berkata dengan lembut: “Nak, aku ingin sekali mengajarkan kepadamu beberapa hal yang akan menjadi bekal engkau sampai ajal datang menghampiri.” “Apa itu ya Rasulullah?” Jawabku. Rasulullah menjawab, “Jagalah (perintah) Allah, pasti Dia akan menjaga dirimu. Jagalah (larangan) Allah, pasti engkau akan dapati Allah selalu berada dihadapanmu. Jika engkau ingin sesuatu, mintalah kepada Allah. Jika engkau mengharap akan pertolongan, mintalah pertolongan itu kepada Allah. Ketahuilah, jika seluruh manusia bersatu untuk memberikan kebaikan (manfaat) kepadamu hal itu tidak akan pernah terjadi kecuali Allah menghendakinya. Dan jika seluruh manusia bersatu hendak mencelakakan dirimu niscaya mereka tidak akan pernah mampu melakukannya tanpa kehendak Allah jua. Telah diangkat pena dan telah kering tinta pada lembaran-lembaran taqdir. (HR At-Tirmidzi)

Wallahu ‘alam Bissawab…

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

(M. Fachri)

Perhiasan Dunia by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Perhiasan Dunia.

menjawab pertanyaan seorang teman dari Papua…

“Hai Nabi, katakanlah kepada pasangan-pasanganmu: “Jika kamu menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan perceraian yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantara kamu pahala yang besar.” (QS Al Ahzab [33]:28-29)

Ketika Perang Ahzab (Khandak) telah usai, Rasulullah saw memperoleh harta rampasan perang yang sangat banyak. Perang ini adalah sebuah perang melawan dua musuh sekaligus dimana kaum kafir Quraish datang untuk menyerang kota Madinah dan bersekutu dengan kaum yahudi bani Quraizhah yang terkenal sangat kaya dan berpengaruh. Akhir dari perang ini adalah Allah SWT menurunkan angin yang sangat dingin dan “tentara-tentara” yang tidak terlihat hingga yang menyebabkan pasukan kafir bercerai berai dan terusirnya bani Quraizhah dari kota Madinah.

Apa yang menjadi hak Nabi dari harta peninggalan bani Quraaizhah tersebut dibagi-bagikan kepada istri-istrinya. Rasulullah saw tidak membagikannya sama rata disebabkan diantara mereka masih memiliki tanggungan anak yatim. Demikian juga beberapa dari mereka ada yang masih muda dan ada yang berusia lanjut serta latar belakang ekonomi yang berbeda.

Walaupun apa yang diberikan oleh Rasulullah melebihi dari kecukupan, suara-suara miring mulai terdengar diantara istri-istri Nabi tersebut sehingga menimbulkan perselisihan diantara mereka dan hal ini sampai kepada Nabi yang sangat amat kecewa mendengarnya. Nabi merasa terpukul dan untuk menghindari kekecewaannya, Nabi memutuskan untuk memisahkan diri dan tinggal di sebuah kamar sederhana di sebuah loteng di salah satu sudut masjid Nabawi. Rasulullah ditemani oleh seorang pembantunya yang bernama Rabah ra yang setia menjaga Nabi di tangga menuju loteng tersebut.

Para sahabat merasa gundah dengan kejadian ini. Umar bin Khatab ra, salah seorang sahabat Nabi yang setia meminta kepada Rabah ra untuk menyampaikan kepada Nabi agar Nabi berkenan untuk bertemu dengannya. Rabah naik ke loteng tersebut dan meminta izin. Setelah menunggu lama, akhirnya Nabi memberi izin kepada Rabah ra untuk memanggil sahabatnya itu.

Umar Ibn Khatab ra naik dan ketika melihat kondisi Rasulullah saw, Umar menangis. “Kenapa Engkau menangis wahai Umar?” “Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah, aku telah menyaksikan bekas guratan tikar yang Engkau tiduri di badanmu yang penuh berkah ini. Tikar itu hanya dari pelepah kurma tanpa alas kain sedikitpun dan bantal yang Engkau pakai hanya bantal dari kulit binatang yang berisi serabut kurma. Dan aku tidak menjumpai apapun dikamar ini, kecuali tiga helai kulit yang belum disamak dan sedikit gandum kasar. Raja-raja romawi, para kaisar, mereka hidup dalam kemewahan, demikian juga raja-raja persia, para kisra, hidup di taman-taman yang ditengahnya mengalir sungai. Memohonlah kepada Allah, agar Allah menganuggerahkan kepada Engkau dan ummat Mu kelapangan.” Rasulullah menjawab: “Tidakkah surga itu cukup bagi kita Umar?”

Umar masih menangis dan mengadukan kepada Nabi kegundahannya dan kegundahan para sahabat yang lain yang diwakilinya mendengar tuntutan para istri Nabi akan harta rampasan perang bani Quraizhah tersebut. Umar berkata, “Ya Rasulullah, para wanita kita sekarang telah berani menuntut kepada suaminya!” Nabi tersenyum dan berkata, “Umar, haruskah kita kembali ke zaman jahiliyah dahulu, ketika kaum pria menjadikan sebahagian dari istri-istri mereka diakui sebagai yang sah dan sebahagian lagi tidak; ketika sang suami wafat, sang istri tidak mendapat hak waris sedikitpun; dan mereka membangga-banggakan anak laki-laki dan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena malu?” Umar menjawab, “Tentu saja tidak ya Rasulullah.” Nabi kemudian melanjutkan, “Ditampakkan oleh Allah kepadaku sebuah kejadian di masa depan, Seluruh jazirah arab ini akan tunduk dibawah kekuasaanmu, maka lemah lembutlah terhadap wanita. Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang lemah lembut.” (HR Tirmidzi)

Beberapa hari setelah peristiwa ini berlalu, Allah ‘Azza wa Jalla menurukan QS Al Ahzab ayat 28-29 diatas. Allah membela ketetapan Rasul-Nya dan memerintahkan kepada Nabi untuk mengajak istri-istrinya hidup dalam kesederhanaan dan tidak menjadikan harta sebagai tujuan kesenangan untuk memperoleh gemerlap duniawi.

Walaupun hakikat ayat ini adalah untuk Rasulullah saw dan istri-istri Nabi, tapi sebuah pelajaran penting bagi kita umatnya bahwa jangan pernah menjadikan harta sebagai persoalan dalam menegakkan sebuah rumah tangga yang sakinah. Allah ‘Azza wa Jalla Maha Berkehendak melapangkan dan juga Maha Berkehendak untuk menyempitkan.

“Hendaklah orang yang mampu (suami) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS Ath Thalaaq [65]:7)

Wallahu ‘alam Bissawab

(M. Fachri)

Sang Guru by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Sang Guru.

Untuk seorang guru yang selalu menjadi inspirasi…

Inilah saat yang dinantikan oleh hamba itu. Dengan izin Allah, ia kembali bertemu dengan gurunya yang amat sangat ia hormati. Hal ini terjadi ketika hamba itu mudik ke kampung halamannya dilebaran yang lalu. Gurunya memberi khutbah Jumat di masjid kecil di sebuah pusaran kekuasaan kota itu. Dan hamba itu sangat antusias dalam mendengar setiap kata yang meluncur keluar dalam Khutbah Jumat sang guru. Demikian juga ketika sholat telah ditunaikan, hamba itu harus kembali menunggu karena antusiasnya jamaah yang ingin bersalaman dan bertegur sapa dengannya.

Sang guru adalah seorang yang sangat sederhana. Jauh dari kesan seseorang dengan jubah putih dan janggut lebat serta celana menggantung. Seorang ulama yang santun dan selalu terjaga dalam setiap untaian kalimat yang keluar dari lisannya. Seorang guru besar ahli tafsir yang bergelar Doktor tapi tak ingin dipanggil ustadz dan tak ingin menyertakan segala gelarnya di depan ataupun dibelakang namanya. Beberapa buku sudah ditulisnya, berpuluh artikel telah ditulisnya dan beratus ceramah telah disampaikannya. Ketika berbicara di hadapan beberapa orang, tak pernah ia hanya tertuju pada seseorang melainkan matanya selalu berpindah dan menyapa setiap orang disekelilingnya. Ia selalu ingin menghormati dan membahagiakan lawan bicaranya. Rasulullah saw adalah teladan hidupnya dan ini selalu menjadi bahan diskusi yang tak habis-habisnya.

Pertemuan itu mereka lanjutkan di sebuah rumah makan pandang di kota itu. Hamba itu menyampaikan kepada gurunya bahwa ia akan menerbitkan sebuah buku yang selama ini telah dipersiapkannya. Gurunya tersenyum dan bertanya akan isinya. “Semua itu tentang hidup yang bercermin pada Rasulullah.” Jawab hamba itu. Lama gurunya terdiam dan dengan mata yang berkaca-kaca dan hela nafas serta suara yang bergetar ia bertanya, “Adakah isinya mencerminkan kerinduan pada Rasulullah?” Tak ada kata lain yang keluar dari lisan sang guru selain ekspresi wajah yang mencerminkan kerinduan yang amat dalam akan sosok seorang manusia mulia Rasulullah saw. Ada kesenduan dalam wajahnya dan sorotan mata yang kosong seolah merintih dalam penantian daftar tunggu yang panjang.

Gurunya memberi sebuah pesan yang sangat dalam, “Jadilah sebuah sekrup kecil dalam pusaran kehidupan ini.” Sang guru menjelaskan akan sebuah doa kecilnya di putaran tawaf pada Ka’bah: “Ya Allah jadikanlah aku sebuah sekrup kecil dalam pusaran kehidupan ini.” Dalam bahasa teknis putaran sekrup kecil yang searah dengan jarum jam itu akan menguatkan, karena sekrup akan semakin menghujam kedalam. Sang guru juga bercerita bahwa sekrup kecil selalu berguna untuk menguatkan setiap peralatan, kendaraan bahkan bangunan. Bentuknya kecil tapi manfaatnya tidak tergantikan untuk membuat sebuah alat menjadi kokoh kedudukannya.

Hamba itu diam mendengarkan. Sang guru memberi perumpamaan sebuah sekrup kecil untuk hamba itu dalam kegiatan dakwah yang saat ini sedang ia lakoni. Pesan dakwah harus selalu menguatkan dan bukan menceraiberaikan atau membuat perpecahan di kalangan ummat.

Sang guru menyampaikan, Pada masa Rasulullah saw, ketika Abdullah bin Umar dan beberapa sahabat yang lain akan berdakwah ke daerah Yaman, Nabi bersabda, “Permudahlah dan jangan kalian mempersulitnya, berilah khabar gembira dan jangan kalian menakut-nakuti.” (HR Bukhari & Muslim)

“Tidaklah seorang pendakwah itu menginginkan dunia ini. Dakwah adalah sebuah profesi yang didasari oleh kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw dan kerinduan akan pertemuan dengannya.” Kata sang guru. Hamba itu bertanya, “Apa yang dapat menjadi pegangannya?” Sang guru menjawab dengan sebuah sabda Rasulullah saw, “Dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR Muslim). Dan melanjutkan, “Selama engkau masih merasakannya, hal itu pertanda baik bagimu dan jika hal itu tidak ada lagi, maka dunia ini telah menipu mu.” Hamba itu mahfum, tidak ada sesuatu apapun di dunia ini yang dapat menggantikan guratan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang begitu menghujam ke dalam hati seorang hamba. Hidup baginya adalah penantian yang panjang sebelum pertemuan yang indah itu menjadi kenyataan. Bait-bait dakwah disampaikan bagai sebuah puisi dan prosa yang mencerminkan kerinduan dan kegelisahan itu.

Hamba itu bersyukur, memasuki usianya yang ke empat puluh, Allah ‘Azza wa Jalla memberi kesempatan kepadanya untuk menulis sebuah buku yang mengekspresikan rasa cinta itu. Sungguh sebuah anugerah yang luar biasa baginya yang tak habis untuk disyukuri. Cinta yang membawa pada kerinduan yang amat dalam dan kegelisahan yang selalu menyertai akan sebuah pertemuan yang agung kelak di hari akhir.

“Katakanlah: Jikalau bapak-bapak, anak-anak, saudara- saudara, pasangan-pasangan hidupmu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (Q.S At-Taubah [9]: 24)

Pada awalnya buku itu berjudul, “Bercermin Hidup pada Rasulullah”. Tapi atas saran penerbit, judul itu berubah menjadi “Akhlak Suci Sang Nabi” Mudah-mudah membawa keberkahan. Amin ya Rabb…

Wallahu ‘alam Bissawab

(M. Fachri)

Furqan by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Furqan

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberi kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan-mu dan mengampuni-mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Al Anfaal [8]:29)

Seorang teman pernah bertanya, apakah yang paling mahal dalam hidup ini? Apakah kehidupan yang dipenuhi dengan kesejahteraan? Kelapangan? Kemuliaan? Ataukah ketentraman?

Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan disebuah ayat-Nya yang mulia, ketika seorang hamba-Nya bertaqwa kepada-Nya, Allah akan memberi ‘furqan’ yaitu sebuah petunjuk (hidayah) untuk membedakan yang benar dari yang salah ataupun memilih sebuah kebaikan yang membawa kepada kemaslahatan daripada keburukan yang menimbulkan kemudharatan. ‘Furqan’ jualah yang menjadi penerang dalam gelapnya jalan kehidupan yang dipenuhi godaan akan kemaksiatan untuk selalu menapaki jalan-Nya yang lurus.

Setiap detik ataupun menit ataupun jam dari kehidupan yang dijalani, seorang hamba selalu berada dipersimpangan untuk menentukan atau memilih sesuatu yang akan mempengaruhi kelangsungan tahapan berikut dari kehidupannya. Ia harus memutuskan apa yang diyakininya dalam sebuah kehidupan yang sarat dengan kepentingan duniawi dan penaklukan diri. Bukankah kita membutuhkan anugerah dari Rabb Yang Maha Agung berupa ‘furqan’ untuk menguatkan pilihan kita?

Furqan membutuhkan kebeningan hati dan kebeningan hati akan terwujud ketika ketaqwaan bersemai dalam diri seorang hamba. Rasulullah saw menyampaikan, “Ada sekerat daging dalam tubuh seorang hamba, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya dan jika dipenuhi oleh noda karena dosa yang hamba itu lakukan, maka buruklah seluruh tubuhnya. Sekerat daging itu bernama ‘Qalb’ (hati) (HR Bukhari dan Muslim)

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “…Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan. (QS Al Anfaal [8]:24)

Wallahu ‘Alam Bissawab

(M. Fachri)

Buah-Buahan by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Buah-Buahan.

“Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu dengan sedikit kegelisahan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah [2]:155)

Seorang teman bertanya, “Allah telah menetapkan ujian kelaparan kepada manusia, kenapa harus ada ujian kekurangan buah-buahan?”

Hamba itu berusaha untuk menjelaskan sebuah ayat yang begitu agung mengenai ‘ujian’ bagi seorang hamba Allah di muka bumi ini. Sebuah ayat yang begitu gamblang dan sangat rinci.

Jika kita melihat ayat Allah diatas dengan seksama, ujian itu ada lima.

Yang pertama adalah kegelisahan (ketakutan). Kegelisahan selalu identik dengan sebuah peristiwa yang belum menghampiri kita. Sebuah peristiwa yang ada di depan yang selalu kita harap-harap cemas dalam menunggu kedatangannya atau menantikan seperti apa wujud kejadiannya. Sesuatu yang sebenarnya diluar nalar dan pemahaman kita karena belum terjadi.

Yang kedua adalah kelaparan. Dalam hal ini kekurangan bahan makanan yang menjadi penyebabnya. Bisa jadi kita mampu mengadakannya dengan harta yang kita miliki tapi bahan makanan itu tidak tersedia.

Yang ketiga adalah kekurangan harta. Dalam hal ini tidak tercukupinya kebutuhan hidup sehari-hari karena kita tidak memiliki penghasilan ataupun.

Yang keempat adalah kekurangan/kehilangan jiwa. Bisa jadi penyakit yang kita derita ataupun kehilangan orang yang kita sayangi.

Yang kelima adalah kekurangan buah-buahan. Buah-buahan disini dapat berarti sebuah tanaman yang kita semai bibitnya, kita tanam, kita pelihara setiap hari dengan menyiramnya dan memberinya pupuk. Tapi tanaman itu tidak berbuah seperti apa yang kita harapkan ataupun tidak berbuah sama sekali. Sebuah perumpamaan bagi sebuah cita-cita yang selama ini kita usahakan untuk mencapainya tapi pada akhirnya cita-cita itu harus pupus. Demikian juga anak-anak yang kita didik dan besarkan dengan susah payah. Berharap suatu saat kelak mereka menjadi seperti apa yang kita harapkan ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan.

Allah memilih kata-kata ‘Kami’ dan bukan ‘Aku’ dalam ayat-Nya yang agung diatas karena Allah ingin memberi informasi kepada hamba-hamba-Nya, adanya keterlibatan makhluk-makhluk-Nya dalam setiap ujian yang Dia tetapkan dan bukanlah semua itu murni hasil kekuasaan-Nya. Dalam hidup ini kita banyak berhubungan dengan manusia lain. Bukankah kegelisahan, kesedihan, kekurangan harta dapat disebabkan orang-orang disekitar kita juga? Demikian juga peran malaikat tidak dapat diabaikan dalam sebuah ujian Allah. Karena para malaikatlah yang berperan dalam menghijaukan ataupun mengeringkan bumi ini dengan air hujan yang turun. Demikian juga segala bencana yang datang menghampiri adalah perintah Allah kepada para malaikat-Nya.

Begitu Maha Adil dan Maha Halus Allah ‘Azza wa Jalla. Walaupun ia Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, ketika sebuah peristiwa yang terjadi melibatkan para makhluk-Nya ia memilih kata ‘Kami’ daripada ‘Aku’.

Demikian juga dengan kata ‘sedikit’ pada ayat diatas. Kita harus menyadari bahwa setiap ujian yang Allah berikan itu hanya sedikit dan kita sangat mungkin untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang kita miliki untuk menyelesaikannya jauh melampaui apa yang diujikan kepada kita.

Wallahu ‘Alam Bissawab

(M. Fachri)

Kegalauan by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Kegalauan

Suatu ketika, dalam kegalauan perasaan akibat ujian hidup, Rasulullah saw datang ke masjid. Nabi melihat Bilal ra dan berkata, “Wahai Bilal, Senandungkanlah adzan bagi kita, agar kita bisa beristirahat dari segala hiruk pikuk dunia ini.” (HR Abu Dawud).

Dalam menjalani kehidupan, Rasulullah saw tidak luput dan merasakan berbagai kegalauan dan kesusahan layaknya seorang manusia biasa. Kegelisahan dan kegembiraan maupun kesempitan dan kelapangan selalu silih berganti sebagai pertanda roda kehidupan terus berputar.Tak pernah ujian itu mengguncangkan diri Nabi sedikitpun. Ujian adalah sunnatullah, bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan tak seorang manusiapun luput darinya. Allah ‘Azza wa Jalla ingin selalu melihat bagaimana seorang hamba-Nya berproses dengan ujian yang diberikan. Apakah ia terguncang? Apakah ia sabar?

Ketika Nabi saw tertimpa oleh sebuah kesulitan, maka sebuah doa selalu terlontar dari lisannya. “Ya Hayyu ya Qoyyum birahmatika astaghiist (Wahai Yang Maha Hidup dan Maha Mengurus makhluknya, dengan rahmat Mu aku meminta pertolongan)” (HR At Tirmidzi).

Seorang teman bertanya, “Apakah yang mendasari seorang hamba untuk dapat sabar disetiap ujian yang Allah berikan kepadanya?”

Hamba itu menjawab, “Tidak buruk sangka terhadap apa yang Allah tetapkan. Sabar hanya dapat diraih jika di dalam hati selalu ada sangka baik kepada Allah sebagai Rabb Yang Maha Agung.”

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah berserta dengan hamba-hamba-Nya yang sabar.” (QS Al Baqarah 153)

Wallahu ‘Alam Bissawab

(M. Fachri)