Dialog Kasih Sayang by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Dialog Kasih Sayang

“(Ibrahim berkata): ‘Ya Rabb ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh’. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) untuk berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash Shaaffaat [37]:100-102)

Allah Azza wa Jalla mengabadikan sebuah dialog yang sungguh indah antara seorang bapak dengan anaknya. Seorang nabi yang Agung, Ibrahim as dengan Ismail as yang ketika itu belum mendapat mandat untuk menjadi seorang utusan Allah. Sebuah dialog yang penuh dengan kasih sayang. Sang bapak memanggil anaknya dengan sebutan ‘ya bunnayya’ sebuah panggilan yang jika diterjemahkan mengandung nilai yang amat mulia dan dengan ruh kasih yang meliputinya. Bukan sebuah panggilan yang biasa ataupun panggilan yang menafikan kedudukan sang anak. Dan bukan pula panggilan yang menempatkan sang anak pada posisi dibawah sang ayah. Demikian juga sang anak memanggil sang ayah dengan sebutan ‘ya abati’ sebuah panggilan yang menempatkan sang ayah pada kedudukan yang sebenarnya. Panggilan yang penuh dengan rasa hormat dan ketundukan yang menyertai.

Pernahkah kita membayangkan betapa besarnya peristiwa yang mengiringi dialog pada ayat diatas? Sebuah peristiwa yang terus menjadi buah bibir dan panutan bagi siapapun yang datang sesudah mereka, baik bagi hamba Allah yang sedang berhaji maupun yang tidak, diseluruh belahan dunia ini. Itulah peristiwa Qurban.

Allah Azza wa Jalla tidak menurunkan wahyu langsung kepada Nabi Ibrahim as ataupun melalui para malaikat-Nya. Tapi Allah mengabarkannya melalui mimpi yang berulang-ulang hingga akhirnya nabi Ibrahim as mengabarkannya kepada sang anak, Ismail as. Nabi Ibrahim as tidaklah arogan dengan kedudukannya sebagai seorang nabi. Ia tetap mengajak anaknya untuk berdialog, meminta pendapatnya sebelum memutuskan. Dapatkah kita bertindak demikian sebagai seorang ayah? Mungkin yang sering keluar dari lisan kita adalah, “Aku ayahmu dan aku mengetahui mana yang terbaik untukmu.” Tidak pernah rasanya kita memberi ruang kepada anak-anak kita untuk mengemukakan pendapatnya tanpa disertai rasa takut dan pamrih.

Demikian juga dengan sang anak, ia tidak pernah mencemooh sang ayah karena hal itu hanya sebuah ‘mimpi’ dan bukan ‘wahyu langsung’ Ismail as sadar akan kedudukan sang ayah dan kebenaran yang selalu melingkupi diri sang ayah sebagai seorang nabi. Tak ada rasa gentar, tak ada perlawanan dari Ismail as akan apa yang akan dilakukan oleh sang ayah. Sungguh sebuah ketundukan dan kepatuhan yang luar biasa.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyatakan bahwa dialog pada ayat diatas tidak akan pernah terulang lagi sampai akhir zaman. Siapapun sang ayah dan siapapun sang anak. Sebuah dialog yang mengandung segala kemuliaan, kecerdasan, kesabaran, ketundukan kepada Yang Maha Hidup dan kebaikan yang tiada taranya.

Ketika ayat diatas dilantunkan oleh Sheikh Asy Shuraim, salah seorang imam masjidil haram di suatu malam di bulan ramadhan beberapa tahun yang lalu, sang imam tidak dapat menahan tangisnya. Suaranya bergetar menandakan kepiluan. Demikian juga sebagian besar makmum yang mengikutinya. Perasaan itu mengharu biru. Sebagai seorang ayah, kita memiliki begitu banyak kelemahan dan kekurangan untuk dapat berdialog secara baik dengan anak-anak kita. Dan sebagai seorang anak, kita jauh dari memiliki ketundukan dan kesabaran dalam berdialog dengan ayah yang telah membiayai separuh hidup kita, terlebih ketika mereka dalam keadaan uzur…

Wallahu a’lam Bissawab

(M. Fachri)

Undangan Yang Agung by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Undangan Yang Agung

Seorang sahabat Nabi Saw bertanya, “Ya Rasulullah, bekal apa yang harus kubawa dalam berhaji?” Dengan berpegang pada QS Al Baqarah [2]:197, Nabi menjawab, “Sebaik-baik bekal adalah Taqwa”. (Mutafaqun Alaihi)

Ketika salah seorang kerabatnya akan berangkat menunaikan ibadah haji, hamba itu mengunjunginya dan ingin mengucapkan selamat jalan kepadanya. Mereka terlibat pembicaraan yang masih seputar masalah dunia dan usaha. Kerabatnya itu berkata, “Tunggulah aku pulang dari haji, kita selesaikan nanti semuanya.” Hamba itu hanya diam dan memandang wajah kerabatnya itu dengan seribu satu pertanyaan yang muncul dibenaknya.

Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang hanya dapat dilakukan oleh yang “mampu”. Bukan hanya dari sisi materi tapi juga secara ruhani. Begitu banyak ragam niat seseorang untuk berhaji. Ada yang untuk mengejar status dan ada juga yang sekedar “mencuci dosa” yang telah lalu serta ada juga yang ingin memuaskan hawa nafsunya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu dan pantas untuk menyandang sebuah gelar “Haji”. Dan yang lebih mengharukan, tanpa disadari atau tidak, bagi sebahagian orang, ibadah haji tak lebih dari sebuah perjalanan wisata dengan membayangkan tempat-tempat indah nan syahdu untuk dikunjungi dan tempat menghabiskan uang untuk berbelanja.

Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang sarat dengan symbol dan makna. Symbol-simbol yang terukir dalam pakaian ihram yang hanya dua lembar sebagai pertanda bahwa ketika kita menghadap Allah Azza wa Jalla, tak ada apapun yang kita bawa kecuali kain kafan yang akan melingkari tubuh kita. Demikian juga ritual melontar jumrah melambangkan perlawanan kita terhadap syaitan yang terus berusaha menggoda. Pertarungan antara keburukan dan kebaikan itu akan selalu ada selama ruh masih bersemayam dalam tubuh kita.

Puncak dari ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah. Tidak ada undangan yang lebih agung ketika Allah memulikan hamba-hamba-Nya di Arafah. Dan hal ini terangkai dalam sebuah pesan Rasulullah Saw, “Haji itu adalah Arafah dan tiada yang membatasi seorang hamba dengan Rabb-nya di hari itu, mereka berada dalam pelukan-Nya” (HR Bukhari).

Arafah adalah replika dari sebuah padang mahsyar kelak. Tempat dimana semua manusia berkumpul untuk menunggu keputusan Allah Azza wa Jalla. Menimbang kebaikan dan keburukan demi dengan ‘Mizan’ (timbangan) yang adil. Di Arafah semua hamba-Nya yang sedang berwukuf sama kedudukannya, sama-sama merasakan kebesaran-Nya. Tempat jutaan hamba-hamba-Nya melantunkan pujian dan bermunajat dengan linangan air mata yang membasahi setiap wajah-wajah mereka demi memperoleh ampunan dan ridha-Nya.

Dalam menjalankan ibadah wukuf, Rasulullah saw sendiri memilih untuk mendaki Jabbal Rahmah dan duduk bersimpuh untuk mendekatkan diri-Nya kepada Rabb Yang Maha Agung tanpa pelindung dan naungan sedikitpun. Dalam terik matahari, Nabi merasa tidak ada jarak antara dirinya dengan Rabb-nya. Terus menerus bermunajat dalam keheningan dan kesyahduan yang tiada tara. Merasakan pelukan-Nya yang penuh rahmat yang selalu menaungi. Sementara ummatnya saat ini memilih untuk berwukuf dalam tenda-tenda yang ber AC, agar tidak kepanasan. Sebuah tenda yang dilengkapi dengan sajian makanan dan minuman kapan saja dibutuhkan.

Ilustrasi perjalanan haji bagaikan perjalanan seorang hamba menuju kepada kematian untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla. Sungguh bagi sebahagian mereka yang shaleh, perjalanan ini harus dipersiapkan dengan seksama. Semua hutang akan dilunasinya sebelum keberangkatannya. Semua janji akan dipenuhinya agar tak meninggalkan kewajiban baginya kelak. Demikian juga keluarga yang ia tinggalkan, Ia meninggalkan mereka dalam keadaan lapang dan cukup. Sepucuk wasiat akan ia tinggalkan bagi mereka agar seluruh harta yang pernah ia peroleh sebagai amanah Allah, tidak akan menjadi sumber konflik dan pertengkaran bagi siapapun yang menjadi ahli warisnya. Tak pantas rasanya ia menebar janji bahwa sepulang dari ibadah haji kelak ia akan melakukan ‘ini’ dan ‘itu’. Sebuah janji yang belum tentu ia dapat laksanakan lagi. Ia seharusnya sadar, ia telah di panggil oleh sang Maha Pencipta untuk memenuhi sebuah undangan yang agung. Tak pantas rasanya untuk kembali.

Dalam perjalanan haji beberapa tahun yang lalu, dalam suasana wukuf yang masih berjalan, seseorang telah ditandu oleh beberapa petugas kesehatan. Beberapa teman-teman dan kerabat mengiringinya. Wajahnya dan sekujur tubuhnya tertutup kain ihramnya dalam tandu yang amat sederhana Ia telah berpulang. Kembali kepada Rabb-Nya Yang Maha Berkuasa dalam pelukan-Nya. Sungguh sebuah kematian yang agung. Kematian yang amat dirindukan dan pantas untuk membuat siapa saja iri melihatnya. Satu yang amat mengesankan bagi hamba itu, teman-teman dan kerabat yang mengiringinya saat itu, semua tersenyum dan penuh kebahagiaan. Mereka sungguh sadar, Allah telah menjanjiikan surga bagi siapapun yang berpulang di dalam pelukan-Nya, dalam sebuah undangan yang agung.

Pantaskah kita merasa akan kembali dari sebuah perjalanan haji?

“Wahai jiwa yang penuh kedamaian. Kembalilah kepada Rabb mu dengan hati yang lapang dan diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al Fajr [89]:27-30)

Keutamaan Hari Arafah by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Keutamaan Hari Arafah

Dalam suatu kesempatan Rasulullah saw menyampaikan di hadapan sahabat-sahabatnya, “Tidak ada hari-hari yang paling dicintai oleh Allah untuk beramal shaleh kecuali sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah ini.” Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak dengan jihad di jalan Allah?” Nabi menjawab, “Tidak pula dengan jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya, meski semua itu tidak akan kembali.” (HR Bukhari, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Rasulullah saw juga menyampaikan, “Tidak ada hari dimana Allah paling banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka selain hari Arafah (9 Dzulhijjah). Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mendekat kepada mereka yang hadir di Arafah pada hari itu, kemudian membanggakan mereka kepada para malaikat-Nya sembari berkata, ‘Apa yang diinginkan oleh hamba-Ku akan aku perkenankan.’” (HR Muslim)

Dalam Kesempatan lain, Rasulullah saw menyampaikan, “Puasa pada hari arafah (bagi siapa yang tidak hadir di Arafah) yang diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah akan menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR Muslim)

Nabi melarang puasa arafah bagi orang yang hadir di arafah pada hari itu (HR Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majah)

Hidup Bagi Seorang Hamba Allah by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Hidup Bagi Seorang Hamba Allah

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berjihad pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam taurat, injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang tunduk beribadah, yang selalu memuji (Allah), yang mengembara, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang mukmin itu.” (QS At Taubah [9]:111-112)

Suatu waktu beberapa tahun yang lalu, hamba itu mendapat sebuah pertanyaan dari seorang guru besar di tempatnya menuntut ilmu di belahan benua lain. Seorang guru besar dengan berbagai gelar yang disandangnya dalam bidang ‘Earthquake Engineering’. Satu dari beberapa ilmuwan yang disegani di negara bagian California. Ia amat sangat mahfum pergerakan lempeng bumi ini dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Saat itu keduanya berada di kantor sang guru besar dalam suasana yang sangat kondusif untuk sebuah dialog keagamaan. Sang guru yang tahu bahwa muridnya adalah seorang muslim bertanya, “Apa yang anda rasakan hidup sebagai seorang muslim?” Hamba itu tidak langsung menjawab. Ia menarik nafas dalam dan melepaskannya dalam bahasa tubuh yang mencerminkan sebuah kegelisahan. Hamba itu sadar ia berhadapan dengan seorang yang belum tentu mengerti akan konsep agama Allah yang sebenarnya dan hidup dalam lingkungan yang didasarkan pada rasionalitas dan pragmatisme di sebuah negara kampiun demokrasi dunia. Paham akan keadaan muridnya, sang guru besar melanjutkan, “Anda tidak harus menjawabnya sekarang!” Hamba itu tersenyum dan berkata, “Bagi seorang muslim, hidup ini adalah sebuah ibadah kepada Allah.” Dalam bahasa ibu sang guru besar, hamba itu merangkainya dalam kalimat “Fully submission to the Almighty God”. “Seorang muslim yakin bahwa ia akan melewati 2 phase kehidupan. Saat di dunia yang sementara dan kemudian untuk hidup di akhirat yang kekal. Kehidupan yang kekal itu akan ditentukan oleh segala apa yang ia perbuat di dunia ini. Allah akan terus mengujinya di dunia ini dengan segala kesenangan dan kesusahan. Ketika ia diuji dengan kesusahan ia akan bersabar, dan ketika ia diuji dengan kesenangan ia akan bersyukur.” Sang guru besar tersenyum dan kemudian berkata. “Kenapa Tuhan harus mengujinya? Bukankah Tuhan Maha Tahu terhadap hamba-Nya? Tuhan pasti sudah tahu apakah anda atau saya berhak atas surga atau neraka, bukankah demikian?” Hamba itu tersenyum. Ia sadar dalam situasi ini, bukanlah hal yang baik untuk berdebat dan memaksakan sebuah keyakinan.

Hamba itu kembali berkata, “Memang, Allah Maha Tahu akan keadaan hamba-hamba-Nya tapi semua itu sebenarnya lebih kepada ujian kasih sayang untuk menguji kadar cinta hamba-hamba-Nya kepada-Nya. Walau Allah Maha Tahu akhir perjalanan kehidupan dari hamba-hamba-Nya seperti apa, tapi manusia tidak mengetahuinya. Ujian-ujian hidup itu sebenarnya selalu bermuara pada menguatnya sebuah perasaan cinta seorang hamba kepada Allah, Sang Maha Hidup. Dari cinta yang setengah menjadi penuh, dari cinta yang penuh menjadi sebuah kerinduan akan pertemuan dengan-Nya yang tak tergantikan oleh dunia ini seberapa mahal pun harganya. Sang guru besar terlihat menikmati jawaban sang murid dengan wajah yang antusias.

Hamba itu melanjutkan, “Bolehkah aku ceritakan sebuah kisah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Bilal bin Rabah?” “Tentu saja!” Jawab sang guru besar. Hamba itu bercerita tentang Bilal ra yang terlahir sebagai seorang budak yang harus mendapat ujian yang luar biasa dari Allah. Mendapat siksaan dan perlakuan yang amat sangat diluar batas kemanusiaan dari tuannya yang bernama Umayyah bin Khalaf, hanya karena ia beriman kepada Allah. Sampai pada suatu hari ia mendapat puncak siksaan berupa dijemur dipadang pasir yang panas dengan tangan dan kaki terikat dan himpitan batu yang ada di atas perutnya. Tak ada kata lain yang keluar dari mulutnya kecuali ucapan ‘Ahad….Ahad…’ yang berarti Yang Maha Esa. Zaid ra dan beberapa sahabat yang lain mengadukan hal ini kepada Rasulullah. Dan Nabi meminta kepada para sahabatnya yang mampu untuk membebaskan Bilal. Dan tawaran itu diterima oleh Abu Bakr ra yang menyanggupi dan menebus Bilal dengan harga yang luar biasa tinggi untuk ukuran pada zaman itu. Setelah dibebaskan, Bilal ra sudah tidak sadarkan diri. Dengan matanya yang terpejam dan nafas yang tinggal satu persatu ia dibawa kehadapan Nabi. Para sahabat yang hadir meneteskan air mata tak tahan melihat keadaannya. Mereka berusaha membangunkannya dengan memanggil namanya, ‘Bilal…bangun…..Bilal…bangunlah…’ Bilal ra masih diam. Rasulullah saw mendekatinya dan berkata, ‘Bilal, bangunlah…Allah telah menyelamatkanmu.’ Bilal membuka matanya dan mencium tangan Nabi seraya berkata, “Ya Rasulullah, kenapa aku harus ditebus?” Salah seorang sahabat berkata, “Bilal, tidakkah engkau berterima kasih kepada Abu Bakr yang telah menebusmu?” Bilal berkata, “Dengan tidak mengurangi rasa hormatku kepada Abu Bakr yang telah membebaskanku, siksaan yang kuterima dari tuanku tidak berarti apapun bagiku. Aku merasa begitu dekat dengan Rabb-ku dan jarak pertemuanku dengan-Nya begitu telah dekat. Tapi rupanya Allah belum mengizinkanku untuk bertemu dengan-Nya.

Sampai disitu cerita tentang Bilal ra. berakhir, sang guru besar lama terdiam dan akhirnya berkata, “Cinta kepada Tuhan adalah sebuah kekuatan yang amat sangat dahsyat dalam kehidupan manusia. Tak ada yang dapat mengerti dan memahaminya.” Ia kemudian melanjutkan, “Kenapa sebagian besar orang muslim yang saya temui hanya tertarik dan sangat antusias untuk berdebat masalah kebenaran Al Quran? Tapi mereka tidak pernah bisa menjelaskan dengan baik apa yang mereka rasakan hidup sebagai seorang muslim? Hari ini saya telah mendapat sebuah penjelasan yang sangat menggugah pandangan saya.”

Beberapa hari kemudian….

Ketika sesi kuliah itu baru saja berakhir, sang guru besar meminta hamba itu untuk mengikutinya ke kantor tempat mereka berdiskusi sebelumnya. Kantor itu dipenuhi dengan beratus-ratus buku dan jurnal-jurnal ilmu pengetahuan yang jumlahnya ribuan. Sekretaris pribadinya tersenyum ramah ketika mereka melewatinya. Bagi hamba itu, ini sebuah kesempatan yang tak terduga sebelumnya. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepadamu” Sang guru besar menjelaskan. Ia mengambil sebuah Al Quran terjemahan yang ia beli beberapa hari yang lalu. Sebuah terjemahan Al Quran karya Dr Abdullah Yusuf Ali, seorang cendikiawan Islam asal India yang menetap di Amerika. Tanpa ragu, ia menunjukkan dua buah ayat di dalam Al Quran, QS At Taubah [9] ayat 111-112 diatas, yang telah ia tandai seraya berkata, “Dua ayat ini menjelaskan dengan gamblang arti sebuah hubungan cinta antara seorang hamba dengan Tuhan nya. Dan hal ini juga terdapat dalam Injil dan Taurat. Sungguh mengagumkan!” Ia melanjutkan, “’Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.’ Aku amat menyukai ayat ini dan sungguh amat bermakna bagiku…” Hamba itu tersenyum mendengarnya.

“Abu Bakr adalah Tuan kita dan telah memerdekakan Tuan kita Bilal.” (Umar Ibn Khatab ra)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb nya yang Maha Berkuasa

M. Fachri

(Referensi: Kisah Bilal ra terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir)

Rasul Sang Penyabar dan Pemaaf by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Rasul Sang Penyabar dan Pemaaf

Cuplikan kisah Rasulullah dari Buku “MUHAMMAD Saw. on facebook” Hal. 88-90. Fan page dapat dikunjungi di http://www.facebook.com/Muhammadsaw

Ketika Rasulullah berdakwah ke daerah Tha’if, di luar kota Mekah, bukan penerimaan yang Rasulullah terima, melainkan kecaman, penghinaan, dan lemparan batu. Rasulullah mencoba untuk berlindung di sebuah kebun. Ketika beliau masuk ke kebun itu, kerumunan orang yang menentangnya bubar. Rasulullah mengikatkan untanya pada sebatang pohon kurma, lalu berteduh di bawah pohon anggur, dan duduk di bawah bayangannya. Rasulullah bermunajat kepada Allah:

“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, ketidakberdayaanku, dan penghinaan yang kuterima dari manusia. Wahai yang Maha Pengasih di antara semua yang mengasihi. Kepada siapakah Engkau hendak menyerahkan diriku? Kepada orang asing yang menyambutku dengan wajah masam atau kepada musuh yang mengalahkanku? Selama Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Perlindungan-Mu sungguh amat luas bagiku. Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan menentukan kebaikan
urusan dunia dan akhirat. Aku berlindung dari murka-Mu dan senantiasa memohon kepada-Mu karena aku sadar tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari-Mu semata.”

Tidak berapa lama malaikat datang menghadap Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, aku adalah malaikat pembawa mandat. Dahulu kaum Tsamud telah kuhancurkan, demikian juga kaum ‘Ad dan kaum Nuh yang lebih dahulu. Aku juga yang mendapat mandat untuk menjungkirbalikkan negeri Luth dan penduduk Aikah. Semua atas perintah Allah. Hari ini aku membawa mandat dari Allah untuk menghancurkan Bani Tsaqif di bumi Tha’if ini. Katakan kepadaku, apa yang harus kulakukan?” Rasulullah Saw. terdiam sebentar dan menjawab, “Katakan pada Allah, tidak semua itu untuk mereka. Mereka melakukan kekejian dan peng- hinaan terhadapku karena mereka belum mengerti risalah yang kubawa.”

Rasulullah Saw. kembali ke kota Mekah. Selang beberapa hari kemudian, di dekat Ka’bah, tempat Rasulullah ketika itu bermalam, Jibril datang dan berkata, “Ya Muhammad, aku datang membawa mandat dari Allah untuk menjemput dan membawamu ke Masjid al Aqsa untuk bertemu dengan para Rasul Allah; dan ke Sidratil Muntaha, tempat Allah bersemayam. Ini adalah penghormatan bagimu. Belum pernah seorang pun dari hamba-Nya mendapatkan penghormatan semacam ini.”

Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad….

Sebuah Undangan by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Sebuah Undangan

Seorang kerabat mengundang hamba itu ke sebuah resto di sebuah Mall. Sembari makan mereka bercerita akan segala hal yang sedang dihadapi ataupun luput dari hadapan. Suatu cerita yang biasa dalam kehidupan. Hamba itu memperhatikan, kerabatnya lengkap memesan makanan. Dari hidangan pembuka, menu utama sampai ke hidangan penutup. Semua terasa lengkap. Tapi ada satu keanehan yang selalu terlihat, makanan-makanan itu tidak sampai habis. Selalu saja ada yang tersisa. Sepertinya hal ini disengaja oleh kerabatnya itu. Hamba itu kembali menoleh ke sekelilingnya. Kerabatnya yang lain pun melakukan hal yang sama. Dan orang lain dalam meja yang berbeda juga tampak melakukan hal yang sama. Seolah hal itu sudah menjadi budaya bagi kita. Rasanya sungkan menghabiskan makanan di sebuah resto yang ternama agar tidak dibilang ‘sedang kelaparan’ sepertinya sedang menjadi ‘habit’. Hamba itu hanya bisa diam dengan seribu satu pertanyaan yang ada dibenaknya sembari berusaha menekan-nekan jarinya pada makanan yang masih tersisa di piringnya untuk kemudian melahapnya agar tiada kelihatan sisanya lagi.

Kenapa hal ini harus terjadi? Tidakkah kita memiliki kepekaan bahwa begitu banyak orang-orang yang sangat mengharapkan makan dengan cukup walaupun itu hanya setumpuk nasi dengan kerupuk? tapi bagi sebagian kita yang lain, kita melakukan sesuatu yang justru amat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla.

“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makanlah dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al A’raaf [7]:31)

Pikiran hamba itu kembali ke sebuah peristiwa yang beberapa hari yang lalu baru saja terlewati. Dalam kegiatan qurban itu, seorang ibu yang datang dari jauh sudah menunggu sejak pagi hanya untuk sekantong daging dengan berat satu kilogram yang akan ia bagikan untuk ke empat anaknya. Ia rela menunggu hingga pukul empat sore. Ketika daging-daging qurban itu mulai dibagikan ia mengantri dengan sabar. Dan ketika ia memperolehnya. Ia angkat kantong yang berisi daging itu ke atas ubun-ubunnya sembari mengucap Alhamdulillah, ia berkata, “Setelah menunggu setahun, saya dan anak saya dapat makan daging lagi.” Sebuah pernyataan mengenaskan keluar dari lisannya yang membuat bulu kuduk ini merinding karenanya dan menyayat hati begitu dalam.

Seorang sahabat Nabi yang bernama Abdurrahman bin Auf. Seorang saudagar kaya yang sangat disegani dimasa Rasulullah. Satu diantara sepuluh sahabat yang Rasulullah sendiri menjamin akan bersamanya kelak di surga yang tertinggi. Seorang sahabat yang selalu hidup dalam kesederhanaan (zuhud). Ribuan ekor unta dimilikinya. Demikian juga puluhan ribu domba ia ternakkan dan asset-asset tanah dan bangunannya menyebar di seantero kota Madinah. Suatu kali, dalam sebuah perjalanan dagang, di dalam tenda teduhnya, para pembantunya menyiapkan makanan yang paling baik dan paling lezat untuknya. Ketika salah seorang puteranya mengajaknya untuk makan, ia terdiam dan tampak raut muka yang menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ia berkata, “Sungguh yang amat kutakutkan dalam hidupku adalah Allah Azza wa Jalla menyegerakan segala kesenangan di dunia ini dan ketika di akhirat nanti aku tidak memperoleh apapun lagi.” (Tafsir Ibn Katsir)

Sungguh sebuah kehidupan yang kontras dengan kita saat ini. Dimana ketika kita dihadapkan pada pilihan yang memberikan nikmat yang banyak kepada kita, pastilah kita sudah memilihnya terlebih dahulu.

Rasulullah Saw menyampaikan dihadapan sahabat-sahabatnya, “Apabila suapan makanan salah seorang diantara kalian itu jatuh, maka ambillah dan bersihkan kotorannya, serta makanlah. Jangan membiarkan makanan itu dimakan oleh syaitan. Habiskanlah makanan yang tersisa di tempat makan kalian (piring). Sesungguhnya kalian tidak tahu, bagian manakah dari makanan itu yang membawa berkah.” (HR Muslim)

Yang fakir terhadap
ampunan Rabb-nya
Yang Maha Berkuasa

(M. Fachri)

Kenikmatan Hidup by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

Kenikmatan Hidup

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan (ajal) dan Dia akan memberi kepada setiap pemilik keutamaan (amal-amal perbuatan baik) balasan keutamaannya (karunia) . Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku (Muhammad) takut kamu akan ditimpa siksa pada hari yang besar (kiamat). Kepada Allah lah kembalimu, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS Huud [11]:3-4)

Manusia sering kali berpikir bahwa kenikmatan hidup adalah keinginan dalam kehidupan ini yang selalu terpenuhi. Ia mungkin lupa, setiap keinginan yang telah terpenuhi dapat saja luput dari ketentraman hidup, kebahagiaan dan kemuliaan diri atau dalam bahasa iman kita sebut dengan“Hidup yang penuh keberkahan”. Berapa banyak manusia yang merasa telah terpenuhi segala keinginannya, memperoleh kelapangan harta, ketinggian kedudukan, bahkan menduga telah meraih segala yang dicita-citakan tapi hidupnya selalu dipenuhi rasa was-was, dan kadangkala hina dimata orang lain. Ia jadi bahan gunjingan dan tumpuan kemarahan orang lain. Ia sanggup menghabiskan biaya yang tidak sedikit dalam membeli kenikmatan hidup, tapi nikmat itu hanya sebentar saja dirasakannya untuk kemudian hilang tak berbekas dan jiwanya kembali kosong.

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thahaa [20]: 124)

Ketentraman, kebahagiaan dan kemulian diri yang dalam bahasa iman kita sebut dengan “hidup yang penuh keberkahan” akan melahirkan kenikmatan hidup yang terus menerus seperti yang dimaksud dengan ayat 3-4 dalm QS Hud diatas. Seorang hamba yang tunduk dan patuh kepada Allah selalu akan merasakan kelezatan iman dan ketentraman hidup dalam naungan illahi Rabbi. Sebuah jalan lurus yang ia tempuh akan menjadikan ia hidup dalam kemulian.

Allah melalui rasul-Nya yang mulia meminta kita untuk selalu memohon ampun dan senantiasa bertaubat kepada-Nya atas segala kesalahan kita. Dalam bahasa Fiqih, ibadah sholat baik yang wajib maupun yang sunnat adalah suatu kegiatan yang mengumpulkan segala bentuk dzikir dan istighfar kepada Allah Azza wa Jalla. Kita sadar bahwa sebagai hamba-Nya yang lemah kita tidak luput dari kealpaan dan kesalahan yang meliputi diri kita. Alangkah baiknya jika diluar ibadah sholat yang kita lakukan, lisan kita selalu dibasahi oleh dzikir tanda mengingat Allah dan istighfar tanda kita sadar akan kealpaan kita sebagai seorang hamba.

Suatu hari, Rasulullah saw pernah duduk beserta beberapa sahabatnya. Lalu datanglah seorang laki-laki. Dia bertanya dan mengeluhkan kemiskinannya kepada Nabi. Rasulullah bersabda, “Engkau harus beristigfar.”

Kemudian datang seorang laki-laki lainnya bertanya dan mengeluhkan sedikitnya anak. Maka Rasulullah bersabda, “Engkau harus beristigfar.”

Lantas salah seorang sahabat, Abu Hurairah ra. berkata: “Ya Rasulullah, penyakitnya bermacam-macam, namun obatnya hanya satu.” Maka Rasulullah bersabda, “Aku akan bacakan kepada kalian apa yang telah disampaikan nabi Nuh kepada ummatnya.” Kemudian Rasulullah membaca firman Allah: “Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhan mu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak mu, dan mengadakan untuk kamu kebun-kebun dan mengadakan untuk kamu sungai-sungai yang mengalir (didalamnya).’” (QS Nuh [71] 10-12)

Rasulullah kemudian berkata: “Barangsiapa senantiasa membaca istigfar, maka Allah menjadikan baginya jalan keluar atas setiap kesulitan yang ia derita dan Allah memberi kelapangan atas setiap kesempitannya serta Allah memberi kepadanya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

“Aku Tidak Ingin Memiliki Pengikut Yang Pendendam…”by Mohammad Yasser Fachri. Re-posted by Iqraa A.

“Aku Tidak Ingin Memiliki Pengikut Yang Pendendam…”

“Dari seluruh bumi Allah, engkaulah tempat yang paling kucintai dan paling dicintai Allah. Jika kaumku tidak mengusirku darimu maka aku tidak akan pernah meninggalkanmu”

Pada malam peristiwa hijrah, ketika Nabi dan Abu Bakr telah sampai diluar kota Mekkah. Nabi menghentikan laju unta nya melihat ke belakang dan pada saat itulah tuturan kalimat yang indah dan penuh kepasrahan itu terucap dari lisannya yang mulia. Seolah sebuah pengaduan kepada Allah, pemilik sekalian alam bahwa seorang hamba-Nya telah dikalahkan dan amat sangat menderita karenanya.

Berat hati Nabi meninggalkan sebuah tempat dimana ia telah dilahirkan, dibesarkan dan telah menjadi bagian dari segala denyut kehidupannya. Tigabelas tahun sejak ia diangkat menjadi Rasul Allah, ia harus berjuang dalam kepedihan dan kesulitan. Caci maki menjadi makanan sehari-hari, fitnah dan gunjingan selalu menyertai langkahnya. Kadang dengan bumbu-bumbu kekerasan fisik yang harus dilewati. Dibasahi kotoran unta, dilempar oleh batu hingga pecah bibirnya dan ditakut-takuti ketika sedang bermunajat kepada Allah didepan Ka’bah. Tak ada yang dapat menyurutkannya. Begitu juga dengan bujuk rayu agar meninggalkan segala bentuk dakwahnya, ia tampik dengan bijaksana. Salah satu pernyataannya adalah ketika para pemimpin kafir Quraish mendatanginya untuk memberinya kekuasaan yang tiada batas, wanita yang ia sukai dan harta yang tak terhingga, Nabi berkata,

“Jika kalian sanggup meletakkan bulan ditangan kananku dan matahari di tangan kiriku, Demi Allah, aku tidak akan pernah berhenti untuk menyampaikan risalah agama Allah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kita sebagai hamba-Nya yang awam kadang berpikir, kenapa Allah Azza wa Jalla harus membirakan kekasih-Nya dalam kesulitan dan penderitaan selama hidup di kota Mekah. Bukankah mudah bagi Allah untuk menyelamatkannya dan menyuruhnya pindah ke kota lain? Semua itu tak lain dan tak bukan adalah untuk meneguhkan kedudukan Nabi Saw sendiri. Bukankah ujian demi ujian bagi seorang hamba selalu bermuara pada kedudukan yang mulia, kebaikan yang banyak dan rahmat Allah yang tiada henti menyertai?

Ketika Nabi Saw dan sahabatnya Abu Bakr ra harus berdiam di gua Tsur untuk beberapa hari demi meredam langkah para kafir Quraish yang senantiasa mencarinya demi imbalan 100 ekor unta, tak ada rasa takut yang menyelimutinya. Orang-orang arab Badui sangat terkenal keahliannya dalam mencari jejak, sehingga beberapa dari mereka dapat menemukan jejak Nabi dan sahabatnya itu. Mereka berusaha mendekat dengan hunusan pedang dan getaran kemarahan yang membuat Abu Bakr menggigil karenanya dan dipenuhi peluh disekujur tubuhnya. Nabi menoleh kepadanya dan berkata, ‘La tahzan, innallaha ma’ana” (Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita). Nabi melanjutkan, “Apa yang engkau khawatirkan dari dua orang ketika Allah menjadi yang ketiga.”

“Jikalau kamu tidak menolongnya, maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada sahabatnya: ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (QS At Taubah [9]:40)

Ketika semuanya telah berlalu, Nabi dan Abu Bakr pergi ke mulut gua. Disana, di depannya, hampir menutupi jalan masuk ada sebuah pohon akasia kira-kira setengah tinggi manusia yang pagi itu belum ada; dan dicelah antara pohon dan dinding gua terdapat seekor laba-laba telah membuat sarangnya. Nabi dan Abu Bakr melihat ke sarang tersebut dan disana, dilubang sebuah batu ada seekor burung merpati telah bersarang dan sedang duduk seakan-akan mengerami telur-telurnya.

Setelah keadaan memungkinkan Nabi dan Abu Bakr meninggalkan gua tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke Yatsrib (Madinah), Ketika itulah Jibril datang kepada Nabi membawa wahyu.

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu melaksanakan Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Mekah). Katakanlah, “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Qashash [28]:85)

Janji Allah ‘Azza wa Jalla ini benar. Kurang dari 10 tahun setelah peristiwa Hijrah, Rasulullah Saw dapat membebaskan Mekkah dari cengkraman kafir Quraish dengan penuh kedamaian dan jauh dari pertumpahan darah. Di depan pintu Ka’bah Nabi memanggil kedua belah pihak. Di satu sisi, para sahabatnya yang dahulu pernah merasakan kekejaman dan penindasan dari penduduk Mekah dan disisi yang lain para penduduk Mekah yang pernah melakukan penindasan. Nabi berkata, “Wahai kaum muhajirin, hari ini adalah hari kasih sayang, maafkanlah mereka karena Allah!” Para sahabat muhajirin tadi enggan beranjak dari tempat mereka untuk memaafkan. Lama Nabi menunggu, tidak ada reaksi yang menyertai. Nabi dengan bijak kemudian berkata, “Wahai sahabat-sahabat ku sebentar lagi aku akan kembali ke Madinah, tinggallah kalian disini. Aku tidak ingin memiliki pengikut yang pendendam.” Terdengar tangisan pilu dari para sahabat muhajirin. Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk berkata, “Ya Rasulullah, Demi Allah dan demi engkau yang lebih kami cintai dari bapak dan ibu kami sendiri, kami ikhlas memaafkan mereka. Jangan tinggalkan kami disini. Tak ada ruang bagi kami untuk menjadi hamba-hamba Allah yang pendendam.”

Allahuma Shalli ‘Ala Muhammad…

(Referensi: MUHAMMAD oleh Martin Lings & Tafsir Ibn Katsir)