TAFSIR AL-QUR’AN ONLINE.TAFSIR AL-ROBBANI, SURAH AL-BAQARAH, AYAT 8 [VERSI INDONESIA]. Re-posted by Iqraa A.

TAFSIR AL-ROBBANI, SURAH AL-BAQARAH, AYAT 8 [VERSI I
NDONESIA]
To members of TAFSIR AL-QUR’AN ONLINE [3 BAHASA: INDONESIA,ARABIC,ENGLISH]

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,” padahal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. [QS. Al-Baqarah [2]:8]

Asbabun Nuzul ayat ini adalah:
Tatkala Nabi saw hijrah ke Madinah, di sana terdapat kaum Anshar yang terdiri atas kabilah Aus Khazraj yang pada masa jahiliah mereka menyembah berhala seperti yang dilakukan kaum musyrik Arab. Terdapat juga kaum Yahudi dari kalangan Ahli Kitab yang masih mengikuti pola hidup para penda hulunya, dan mereka terdiri atas tiga kabilah : Bani Qainuqa yang merupakan sekutu kaum Khazraj, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah sekutu kaum Aus.
Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, maka masuk Islamlah orang-orang tertentu dari kaum Anshar, baik dari kabilah Aus maupun Khazraj, namun sedikit sekali kaum Yahudi yang masuk Islam. Di antara mereka yang masuk Islam adalah Abdullah bin Salam r.a. Pada saat itu belum ada kemunafikan, sebab kaum mukmin belum lagi memiliki nyali yang ditakuti pihak lain, bahkan Nabi saw berdamai dengan kaum Yahudi dan dengan beberapa kabilah setempat yang ada di seputar Madinah.
Setelah terjadi peristiwa Badar al ‘Uzhma (hebat) dan Allah menam pakkan kalimah-Nya serta memuliakan Islam dan pemeluknya, maka masuk Islamlah Abdullah bin Ubai bin Salul, yang dahulunya sebagai penguasa Madinah, berasal dari Kabilah Khazraj. Ia adalah pemimpin kabilah Aus dan Khazraj pada masa jahiliah yang dahulunya mereka pernah akan menjadikannya sebagai raja mereka. Akan tetapi, datanglah kepada mereka kebaikan, lalu mereka masuk Islam sehingga hasrat mereka terlupakan.
Dalam diri Ubai tersimpan dendam terhadap Islam dan pengikutnya . Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, Abdullah bin Ubai bin Salul berkata,”Ini adalah perkara yang unggul.” Maka dia pura-pura masuk Islam bersama beberapa golongan yang mengikuti jejak dan pola hidupnya serta beberapa orang ahli Kitab. Dari kejadian itu, timbullah kemunafikan para penduduk Madinah dan yang ada di sekitarnya.
Sedangkan kaum Muhajirin tidak ada seorang pun munafik, sebab mereka berhijrah bukan karena dipaksa oleh kaumnya, namun karena pilihannya sendiri. Dia meninggalkan harta, anak dan lahannya karena mengharapkan apa yang ada pada sisi Allah di negeri akhirat.
Jadi kaum munafik berasal dari kabilah Aus, Khazraj, dan Yahudi. Oleh karena itu, Allah mengingatkan supaya kaum mukmin tidak tertipu oleh penampilan kaum munafik yang akan m enimbulkan kerusakan yang luas lantaran keyakinan keimanannya, sedang hakikatnya mereka adalah kafir
Maka di antara hal yang diperingatkan ialah hendaknya kaum munafik dianggap secara pasti sebagai orang-orang yang jahat, dan ini adalah lebih baik. Allah Ta’ala berfirman : “Dan di antara manusia ada orang yang berkata,’Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’, padahal mereka bukanlah orang-ora ng yang beriman.”, sebagaimana Allah Ta’ala juga berfirman,”Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata,’Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya (QS. Al Munafiqun ayat 1).
Yakni mereka mengatakan hal itu hanya di bibir saja. Pada akhir ayat itu, Allah mendustakan mereka dengan firmannya, Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-o rang munafik itu benar-benar pendusta” dan dengan firman Allah, “Padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman.” Juga firman Allah, “Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman.” Maksudnya karena bodoh, mereka menduga bahwa mereka telah berhasil menipu Allah dengan ucapan “kami beriman” dan menyangka ucapan itu berg una bagi mereka pada sisi Allah; bahwa nanti ucapan itu disebarkannya kepada Allah sebagaimana ia disebarkan kepada kaum mukmin, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Alla, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang munafik) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta”. (QS. Al Mujadilah ayat 18)
Apakah munafik itu? Ibnu Katsir mengatakan bahwa nifak artiny a ‘menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan’. Nifak terdiri atas dua jenis :
1. Nifak Keyakinan, yaitu mengekalkan pelakunya di dalam neraka untuk selamanya
2. Nifak Perbuatan. Ia termasuk dosa yang sangat besar
Sifat-sifat kaum munafik terdapat dalam surah-surah yang diturunkan di Madinah, karena di Makkah tidak ada kemunafikan. Sebaliknya di antara manusia ada orang yang meno njolkan kekafiran karena kebencian, padahal hati kecilnya beriman.
Hadits Yang Terkait dengan surah Al-Baqarah, ayat 8 ini adalah Shahih Muslim No. 88 dan 89.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِ يهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Hadis riwayat Abdullah bin Amru Ra, ia berkata:Rasulullah Saw pernah bersabda: “Ada empat sifat yang bila dimiliki maka pemiliknya adalah munafik murni. Dan barang siapa yang memiliki salah satu di antara empat tersebut, itu berarti ia telah menyimpan satu tabiat munafik sampai ia tinggalkan. Apabila berbicara ia berbohong, apabila bersepakat ia berkhianat, apabila berjanji ia mengingkari dan a pabila bertikai ia berbuat curang”. [HR.Muslim]

TAFSEER AL-MIZAN, SURAH AL-BAQARAH, AYAT 8-20 [ENGLISH VERSION]
To members of TAFSIR AL-QUR’AN ONLINE [3 BAHASA: INDO NESIA,ARABIC,ENGLISH]

BY.as-Sayyid Muhammad Husayn at-Tabataba’i

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْ لِحُونَ (11) أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ (12) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آَمِنُوا كَمَا آَمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آَمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ (13) وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آَمَنُوا قَالُوا آَمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (16) مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ (17) صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ (18) أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ (19) يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20)

And there are some people who say: “We believe in Allāh and in t he last day”; while they are not at all believers (8). They desire to deceive Allāh and those who believe, and they do not deceive except themselves and they do not perceive (9) . There is a disease in their hearts, so Allāh added to their disease and for them is a painful chastise¬ment because of the lie they were saying (10). And when it is said to them, “Do not make mischief in the land”, they say: “We are but peace-makers” (11). Now surely they themselves are the mischief-makers, but they do not per¬ceive (12). And when it is said to them: “Believe as the people have believed “, they say: “Shall we believe as the fools have believed? ” Now surely they themselves are the fools, but they do not kno w (13). And when they meet those who believe, they say: “We believe “; and when they are alone with their Satans, they say: “Surely we are with you, we were only mocking” (14). Allāh pays them back their mockery, and leaves them alone in their rebellion blindly wandering on (15) . These are they who buy error for the guidance, so their bargain brings (them) no gain, nor are they guided aright (16). Their parable is like the parable of one who kindled afire, but when it had illumined all around him, Allāh took away their light, and left them in utter darkness – they do not see (17). Deaf, dumb (and) blind, so they will not turn back (18). Or like an abundant rain from the heaven in which is utter dark ness and thunder and lightning; they put their fingers into their ears because of the thunder peals, for fear of death, and Allāh encom¬passes the unbelievers (19). The lightning almost takes away their sight; whenever it shines on them they walk in it, and when it becomes dark to them they stand still; and if Allāh had pleased He would certainly have taken away their hearing and their sight; surely Allāh has power over all things (20) .

COMMENTARY

These thirteen verses are about the hypocrites. We shall discuss this subject in detail in Chapter 63 (The Hypocrites) and in some other places.

QUR’ĀN: They desire to deceive: “al-Khad’ah” ( ) is deceit, duplicity.

QUR’ĀN: When they are alone with their Satans: “ash-Shaytān” ( ) means evil, wicked; that is why the Iblīs is called the Satan.

QUR’ĀN: Their parable is like the parable of one who kindled a fire . . . they will not return: The hypocrites are like a man who is surrounded by a blinding darkness in which he cannot distin¬guish good from bad, beneficial from harmful; to remove it he kindles a fire, and in its light is able to see to some distance around it; then as soon as it has illumined all around, Allāh, extinguishes it by wind, rain or some other thing like it and he is left as he was before – in utter darkness. And now he is pressed between two darknesses – that of the night and that of bewilderment and nullity of his endeavour. This parable fits exactly on hypocrites. A hypocrite declares himself to be a Muslim, and through it gains some benefits, as he is treated as a Muslim in matters o f marriage and inheritance etc. But as soon as death approaches – the time when the real and complete benefits of Islam should have ap¬peared – Allāh takes away the light, nullifies his deeds and leaves him in utter darkness in whic h he cannot see at all. Thus he falls between two darkness – his original one and the one he added with his dark deeds.

QUR’ĀN : Or like an abundant rain . . . Allāh has power over all things: “as-Sayyib ” ( = abundant rain); “al- barq ” ( = lightning; flesh of lightning); “ad-ra’d” ( = thunder that is heard after lightning); “as-sā `iqah ” ( = thunderbolt, to strike with lightning).

This is another example for the hypocrites. A man is caught in a rainpour; darkness surrounds him, he is unable to see around and loses his bearings. The rain tells him to run away; to find a shelter somewhere, but darkness prevents him from it; frightening thunder and lightning-bolts have overwhelmed him, yet when lightning appears he tries to take its advantage by walking ahead in its light – but it appears only for a fleeting moment and then disappears; whenever it shines he walks ahead and when darkness I engulfs him again he stops.

A hypocrite is exactly in the same position. He does not like Islam, but has to profess to be a Muslim. His words do not reach his heart; what he says is different from what he believes in his heart. Because of this discrepancy his path is not illuminated as it should have been. The result is that he gropes about aimlessly and stumbles every now and then; he walks a little and then stops. Thus Allāh punishes him with disgrace; and had He wished so, He would have taken away his sight and hearing, thereby disgracing him on the very first day.

TAFSIR AD-DURRUL MASHUUN FII KITAABIL MAKNUUN, SURAH AL-BAQARAH, AYAT 8 [ARABIC VERSION]
To members of TAFSIR AL-QUR’AN ONLINE [3 BAHASA: I N DONESIA,ARABIC,ENGLISH]

By : Kh Shohibulfaroji Al-robbani

* { وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ }

قوله تعالى: {وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ}.. الآية {مِنَ النَّاسِ} خبر مقدم و “من يقول” مبتدأ مؤخر، و “مَنْ” تحتملُ أن تكونَ موصولةً أو نكرةً موصوفةً أي: الذي يقول أو فريقٌ يقول: فالجملةُ على الأول لا محلَّ لها لكونِها صلةً، وعلى الثاني محلُّها الرفعُ لكونها صفةً للمبتدأ. و استضعف أبو البقاء أن تكونَ موصولةً، قال: لأن “الذي” يتناول قوماً بأعيانهم، والمعنى هنا على الإبهام” انتهى. وهذا منه غيرُ مُسَلَّم لأن المنقولَ أن الآية نَزَلَت في قوم بأعيانهم كعبد الله بن أُبَيّ ورهطِه. وقال الأستاذ الزمخشري: “إن كانَتْ أل للجنس كانت “مَنْ” نكرةً موصوفة كقوله: {مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُواْ} وإن كانَتْ للعهد كانت موصولةً”، وكأنه قَصَد مناسبةَ الجنسِ للجنسِ والعهدِ للعهد، إلاَّ أن هذا الذي قاله غيرُ لازم، بل يجوز أن تكونَ أل للجنسِ وتكونَ “مَنْ” موصولةً، وللعهدِ ومَنْ نكرةً موصوفةً/.
و “مِنْ” في “مِنَ الناس” للتبعيض، وقد قومٌ أنها للبيان وهو غَلَطٌ لعدم تقدُّم ما يتبيَّن بها. و “الناس” اسمُ جمع لا واحدَ له مِنْ لفظه، ويرادفُهُ “أناسِيٌّ” جمع إنسان أو إِنْسِيّ، وهو حقيقةٌ في الآدميين، ويُطْلق على الجن مجازاً. واختلف النحويون في اشتقاقه: فمذهبُ سيبويه والفراء أنَّ أصلَه همزةٌ ونون وسين والأصل: أناس اشتقاقاً من الأنس، قال: وما سُمِّي الإنسانُ إلا لأُِنْسِه * ولا القلبُ إلا أنه يَتَقَلَّبُ
و “يقول”: فعل مضارع وفاعله ضميرٌ عائد على “مَنْ”، والقولُ حقيقةً: اللفظُ الموضوعُ لمعنىً، ويُطْلَقُ على اللفظِ الدالِّ على النسبةِ الإسناديةِ وعلى الكلام النفساني أيضاً، قال تعالى: {وَيَقُولُونَ فِيا أَنفُسِهِمْ لَوْلاَ يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ} وتراكيبه الستة وهي: القول واللوق والوقل والقلو واللقو والولق تَدُلُّ على الخفَّةِ والسرعةِ، وإنْ اختصَّتْ بعضُ هذه الموادِّ بمعانٍ أُخَرَ. والقولُ أصلُ تعديتِه لواحدٍ نحو: “قُلْتُ خطبةً”، وتُحْكى بعده الجملُ، وتكون في حلِّ نصب مفعولاً بها إلا أَنْ يُضَمَّنَ معنى الظن فيعملَ عَمَلَه بشروطٍ عند غير بني سُلَيْم مذكورةٍ في كتب النحو، كقوله: متى تقولُ القُلُصَ الرواسِما * يُدْنِيْنَ أمَّ قاسمٍ وقاسما
وبغير شرط عندهم كقوله: قالتْ وكنتُ رجلاً فطيناً * هذا لَعَمْرُ اللهِ إسرائينا
و “آمَنَّا”: فعلٌ وفاعلٌ، و “بالله” متعلقٌ به، والجملةُ في محلِّ نصب بالقول، وكُرِّرَت الب اءُ في قوله “وباليومِ” للمعنى المتقدِّم في قوله: {وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ} وقد سأل سائل فقال: الخبرُ لا بد وأن يفيدَ غيرَ ما أفاده المبتدأ، ومعلومٌ أن الذي يقولَ كذا هو من الناس لا من غيرهم. واُجيب عن ذلك: بأن هذا تفصيلٌ معنويٌّ لأنه تقدَّم ذِكْرُ المؤمنين، ثم ذِكْرُ الكافرين، ثم عَقَّبَ بذِكْر المنافقين، فصار نَظيرَ التفصيلِ اللفظي، نحو قوله: {وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ} {وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي} فهو في قوةِ تفصيلِ الناسِ إلى مؤمنٍ وكافرٍ ومنافقٍ، وأحسنُ مِنْ هذا أن يُقالَ: إن الخبرَ أفادَ التبعيضَ الم قصودَ لأن الناس كلهم لم يقولوا ذلك. وهم غيرُ مؤمنين فصارَ التقديرُ: وبعضُ الناسِ كَيْتَ وكَيْتَ.
واعلم أن “مَنْ” وأخواتها لها لفظٌ ومعنىً، فلفظُها مفردٌ مذكَّرٌ، فإن أريد بها غيرُ ذلك فلك أن تراعيَ لفظها مرةً ومعناها أخرى، فتقول: “جاء مَنْ قام وقعدوا” والآيةُ الكريمة كذلك، روعي اللفظُ أولاً فقيل: “مَنْ يقول”، والمعنى ثانياً في “آمَنَّا”، وقال ابن عطية: “حَسُن ذلك لأنَّ الواحدَ قبلَ الجمعِ في الرتبة، ولا يجوزُ أن يرجِعَ متكلمٌ من لفظِ جَمْعٍ إلى توحيدٍ، لو قلت: ومن الناس مَنْ يقومون ويتكلم لم يَجُز”. وفي عبارة القاضي ابن عطية نظرٌ، وذلك لأنه منع مراعاة [اللفظ بعد مراعاة] المعنى، وذلك جائزٌ، إلا أنَّ مراعاةَ اللفظ أولاً أَوْلى، ومِمَّا يَرُدُّ عليه قولُ الشاعر: لستُ مِمَّنْ يَكُعُّ أو يَسْتَكينو * ن إذا كافَحَتْهُ خيلُ الأعادي
وقال تعالى: {وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ} إلى أن قال: “خالدين” فراعى المعنى، ثم قال: {قَدْ أَحْسَنَ اللَّهُ لَهُ رِزْقاً} فراعى اللفظَ بعد مراعاةِ المعنى وكذا راعى المعنى في قوله: “أو يَستكينون” ثم راعى اللفظَ في إذا كافحته”. وهذا الحملُ جارٍ فيها في جميع أحو الها، أعني مِنْ كونِها موصولةً وشرطيةً واستفهامية/ امَّا إذا كانَتْ موصوفةً فقال الشيخ: “ليس في مَحْفوظي من كلام العرب مراعاةُ المعنى” يعني تقول: مررت بمَنْ محسنون لك.
و “الآخِر” صفةٌ لليوم، وهو مقابِلُ الأولِ، ومعنى اليومِ الآخر أي عن الأوقات المحدودة.
و {مَا هُم بِمُؤْمِنِينَ} ما نافية، ويحتمل أن تكونَ هي الحجازيةَ فترفعَ الاسمَ وتنصبَ الخبرَ فيكونُ “هم” اسمَها، وبمؤمنين خبرَها، والباء زائدةٌ تأكيداً وأن تكونَ التميميةَ، فلا تعملَ شيئاً، فيكونُ “هم” مبتدأ و “بمؤمنين” الخبرَ والباءُ زائدةٌ أيضاً، وزعم أبو علي الفارسي وت بعه الزمخشري أن الباءَ لا تُزاد في خبر “ما” إلا إذا كانَتْ عاملةَ، وهذا مردودٌ بقول الفرزدق، وهو تميمي:
لَعَمْرُكَ ما مَعْنٌ بتاركِ حَقِّه * ولا مُنْسِئٌ مَعْنٌ ولا مُتَيَسِّرُ
إلا أنَّ المختارَ في “ما” أن تكونَ حجازِيةً، لأنه لمَّا سقطت الباءُ صَرَّح بالنصب قال الله تعالى: {مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ} {مَا هَاذَا بَشَراً} وأكثرُ لغةِ الحجاز زيادةُ الباء في خبرها، حتى زعم بعضُهم أنه لم يَحْفَظِ النصبَ في غير القرآنإلا في قول الشاعر:
وأنا النذيرُ بحَرَّةٍ مُسْوَدَّةٍ * تَصِل الجيوشُ إليكمُ أَقْوادَها
أبناؤُها متكنِّفَون أباهُمُ * حَنِقُوا الصدورِ وما هُمُ أولادَها
وأتى بالضمير في قوله: {وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ} جمعاً اعتباراً بمعنى “مَنْ” كما تقد م في قوله “آمنَّا” فإنْ قيل: لِمَ أتى بخبر “ما” اسمَ فاعل غيرَ مقيَّدٍ بزمانٍ ولم يُؤْتَ بعدها بجملةٍ فعلية حتى يطابقَ قولَهم “آمنَّا” فيقال: وما آمنوا؟ فالجوابُ: أنه عَدَلَ عن ذلك ليفيدَ أنَّ الإيمانَ منتفٍ عنهم في جميعِ الأوقات فلو أُتِيَ به مطابقاً لقولهم “آمنَّا” فقال: وما آمنوا لكان يكونُ نفياً للإيمان في الزمن الماضي فقط، والمرادُ النفيُ مطلقاً، أي: إنهم ليسوا متلبسيت بشيء من الإيمان في وقتٍ من الأوقات

TAFSIR AL-ROBBANI, SURAH AL-BAQARAH, AYAT 9
To members of TAFSIR AL-QUR’AN ONLINE [3 BAHASA: INDONESIA,ARABIC,ENGLISH]

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang berima n, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” [QS.Al-Baqarah [2]:9]

Oleh karena itu, Allah membalas keyakinan mereka dengan firman-Nya,”Dan tidaklah mereka menipu melainkan pada dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” Artinya, jika dalam kehidupan dunia ini orang munafik menipu kaum mukmin, berarti dia menipu diri sendiri, karena perbuatan itu tampak jelas bagi diri mereka, perbuatan itu memberikan kematian pada diri, meminuminya dengan gelas kejahatan diri, dan dialah yang menjerumuskan diri pada kancah kebinasaannya, yang menjejali diri dengan gelas azab, dan yang menjerumuskannya kepada kemurkaan Allah dan kepedian siksa-Nya yang tiada tara. Itulah tipuan munafik pada dirinya sendiri, padahal dia menduga telah berbuat baik kepada dirinya itu, sebagaimana firman Allah,”Dan tidaklah mereka menipu melainkan terhadap dirinya sendiri.’

Siapakah para penipu Allah tersebut?
Seorang sahabat bertanya pada Rosulullah SAW; Wahai Ros ulullah!, amal apa yang bisa menyelamatkan (kami) besok (hari kiamat)?, Rosulullah SAW menjawab: jika kamu tidak menipu Allah SWT. Mereka bertanya lagi: Bagaimana (mungkin) kami menipu Allah SWT?. Rosulullah SAW bersabda: Yaitu apabila engkau melaksanakan perintah-perintah Allah SWT (taat), namun dengan taat itu engkau masih mempunyai tujuan selain Allah SWT. Takutlah kalian dari perbuatan riya’ (pamer), karena riya’ itu termasuk perbuatan syirik pada Allah SWT. Sungguh orang riya’ kelak pada hari kiamat akan dipanggil di hadapan makhluk-makhluk Al lah SWT dengan empat sebutan: YA KAFIR (Hai orang kafir), YA FAJIR (Hai orang yang bermaksiat), YA GHODIR (Hai penghianat), YA KHOSIR (Hai orang yang merugi), perbuatanmu sesat, pahalamu hangus, pada hari ini kamu tidak memiliki bagian sedikitpun (dari amalmu). Wahai penipu !, mintalah pahala dari orang yang engkau maksudkan ketika engkau beramal.
Bahkan Syekh Nasr bin Muhammad As Samarkandiy mengatakan bahwa; Barang siapa berharap untuk mendapatkan pahala amal di akherat, maka hendaknya dia memurnikan amalannya hanya karena Allah SWT semata, tanpa “dicemari” perasaan riya’, kemudian lupakan amalan terseb ut, supaya nilai ibadahnya tidak hangus karena ‘ujub (membanggakan diri). Karena menjaga taat itu lebih sulit dari pada melaksanakannya.
Syekh Abu Bakar Al Wasithi juga mengatakan bahwa; menjaga ketaatan itu lebih berat dari pada melaksanakannya. Taat itu diibaratkan seperti kaca, cepat (mudah) pecah, dan tidak bisa ditambal. Demikian juga amal ibadah (taat), jika amal sudah “tercemar” riya’ atau ‘ujub, maka amal itu akan hancur (tidak bermanfaat).
Apabila ada seseorang melaksanakan suatu perbuatan, dan takut timbul riya’ dari dalam dirinya, maka hendaknya dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengeluarkan pera saan riya’ dari dalam hatinya.
Jika ternyata masih belum mampu melenyapkan riya’ dari dalam hatinya, maka hendaknya dia tetap melaksanakan amalan tersebut, dengan disertai istighfar, ,mohon ampunan pada Allah SWT, atas sifat riya’ yang masih melekat pada amal ibadahnya. Dengan demikian, semoga Allah SWT menunjukkan jalan menuju ikhlas pada amal ibadah yang lain.
Syekh Fudhail bin Iyadl mengatakan : berbuat amal karena manusia adalah riya’, dan riya’ itu dekat dengan syirik. Dan riyak dan stirik adalah perbuatan orang-orang munafik dan kafir.
Syekh As-Siriy As-Saqathiy juga mengatakan : Barang siapa menghiasi dirinya untuk manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada manusia, maka dia gugur dari pandangan Alah SW T.
Pada hakekatnya, orang yang menipu Allah SWT itu menipu dirinya sendiri. Mereka tertipu dengan amal yang dilakukannya selama ini. Mereka mengira telah mengumpulkan banyak pahala. Namun sayang, hanya karena niat mereka tidak ditujukan pada Allah SWT, amal ibadah yang melelahkan dan menyita waktu itu tidak mempunyai nilai di hadapan Allah SWT. Semoga Allah SWT selalu membimbing hati kita untuk selalu taat kepada-NYA dengan hati yang tulus ikhlas.