Memaknai Kesedihan. By: Mohammad Yasser Fachri .

— Follow eDakwah on Twitter: http://twitter.com/eDakwah

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’ – kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (beristiqamah), maka akan turun kepada mereka malaikat-malaikat (dan berkata), ‘janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepada kamu. Kamilah pelindung-pelindung kamu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu kamu inginkan dan bagi kamu juga disana apa yang kamu minta. Sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Fushshilat [41]:30-32)

Ketika sesuatu ‘luput’ dari diri seorang manusia, ia akan merasakan kesedihan. ‘Luput’ adalah kehilangan orang yang disayangi, kehilangan sesuatu yang menyenangkan hati ataupun perolehan akan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. Dalam kehidupan ini kita pasti pernah merasakannya dan tidak akan pernah bisa menghindar darinya. Dalam kesedihan, manusia berusaha bangkit dengan bermacam cara. Salah satunya dengan berkeluh kesah kepada seseorang yang ia anggap dapat mewakili hatinya yang sedang gundah gulana.

Dalam kehidupan yang sementara ini, Allah Azza wa Jalla mempergilirkan bagi kita rasa sedih dan gembira. Hal ini adalah untuk mengingatkan kita betapa sementaranya hidup kita di dunia ini. Tiada kesedihan yang kekal dan tiada kebahagiaan yang abadi. Ketika Allah memberikan kebahagiaan kepada kita, satu yang harus kita ingat bahwa kesedihan itu akan datang menyertai. Demikian juga ketika kita merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam, sehingga kita merasa sudah pada tahap puncaknya, ingatlah bahwa sebentar lagi kebahagiaan pasti akan datang menyertai, laksana air hujan yang datangnya ditunggu-tunggu dalam sebuah kemarau yang berkepanjangan. Begitulah hidup ini harus dijalani.

Pada ayat diatas Allah menjanjikan sesuatu kepada hamba-Nya. Kepada hamba-Nya yang selalu meyakini akan hadirnya kekuasaan-Nya dalam setiap sisi kehidupan dan kepada Hamba-Nya yang selalu menjaga konsistensi untuk terus beribadah kepada Allah serta menjaga dirinya dari sesuatu yang merusak hubungannya dengan Allah. Janji itu adalah turunnya malaikat dalam kehidupan di dunia ini yang selalu menjadi penghibur hati bagi sang hamba. Hal ini ditandai dengan tertanamnya dalam hati sang hamba dorongan untuk selalu berbuat baik dan optimisme menyangkut kehidupannya.

Optimisme adalah sebuah kunci untuk menghilangkan kesedihan dan berharap akan kebahagiaan sedangkan pesimisme adalah merupakan dorongan syaitan untuk selalu mengajak manusia berputus asa. Pesimisme akan mengakibatkan jiwa yang sakit dan terisolasi dari kehidupan yang harus dijalani.

Ada sebuah kisah menarik dari seorang Rizvan Khan dalam film ‘MY NAME IS KHAN’ yang sedang di putar di bioskop-bioskop di seluruh dunia termasuk di Indonesia saat ini. Rizvan adalah seorang muslim penderita aspergers (autis). Disaat ia mengalami kesedihan yang mendalam, anak tirinya terbunuh dan istrinya mengusirnya, ia tiada berputus asa. Ia berjuang agar kebahagiannya dapat terwujud kembali walaupun jalan yang harus ia tempuh begitu berliku, menikung, terjerembab dalam ganasnya diskriminasi, rasisme dan prejudice setelah peristiwa 9/11 di Amerika.

Dengan latar belakang seorang ibu yang telah mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan menanamkan nilai-nilai keimanan kepada Allah, kebaikan serta toleransi kepadanya, ia berusaha menghindari ‘prejudice’ terhadap orang lain yang berbeda agama tapi juga berusaha meluruskan kekeliruan saudara-saudaranya dalam memahami arti sebuah ‘jihad’.

Ketika Rizvan duduk di dalam masjid dan mendengar saudara-saudaranya seiman bersepakat menegakkan jihad dengan mencontoh Nabi Ibrahim as yang berjihad walaupun harus mengorbankan anaknya Ismail as untuk disembelih, Rizvan Khan meluruskan pandangan mereka. Ibrahim as tidak sedang berjihad, tapi sedang diuji oleh Allah Azza wa Jalla akan sebuah ‘kasih sayang’ yang tulus. Nabi Ibrahim as amat sangat lama menanti kelahiran Ismail as, putera semata wayangnya. Dibesarkannya dalam kasih sayang dan pengorbanan yang tiada berhingga. Ketika sang anak menginjak dewasa, Allah Azza wa Jalla melalui mimpi yang berulang-ulang menghendakinya untuk menyembelih Ismail as. Sungguh sebuah ujian yang luar biasa. Al Quran memaparkan hal ini dalam QS 37:100-102. Nabi Ibrahim as lulus dalam ujian ini dan mendapat gelar Khalilullah yang berarti ‘Kesayangan-Nya’ (QS 4:125). Rizvan dalam bahasanya yang tidak menggurui mengatakan “Allah mengajarkan cinta dengan ujiannya” sambil keluar melalui pintu masjid yang sempit.

Mampukah kita belajar dari seorang penderita aspergers (autis) seperti Rizvan Khan? Seorang yang memiliki keterbatasan tapi dengan keyakinannya kepada Allah dan istiqamah (konsisten) dalam menjalani hidupnya, ia menjadikan kesedihan sebagai sebuah kekuatan untuk berbuat baik; untuk menolong orang lain; untuk mengingatkan saudara-saudara nya yang seiman dan pada akhirnya ia memperoleh kebahagiaan yang pernah luput dari dirinya.

Hal ini ia peroleh sesuai dengan apa yang Allah janjikan, “… maka akan turun kepada mereka malaikat-malaikat (dan berkata), ‘janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepada kamu. Kamilah pelindung-pelindung kamu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat…”

yang fakir kepada ampunan Rabb-nya
Yang Maha Berkuasa

(M. Fachri)